Selamat Datang Di Blog Orang Pinggiran, Dimana Keangkuhan Tak Kau Temukan Disini...

Rabu, 14 Mei 2008

Dicekal..., dan terus dicekal...


"Dicekal..., dan terus dicekal...", tiba-tiba kata itu terlontar dari mulut seorang pemuda yang baru keluar dari sebuah ruangan kantor yang dipintunya tertulis "RAPAT". Wajahnya begitu terlihat jengkel, seakan ingin menumpahkan sesuatu namun tertahan. Pemuda itu bernama Bagas, seorang lelaki dengan tinggi sekitar 170cm, kulitnya sawo matang dengan rambut sebahu yang lurus. Tas daypack berwarna hitam terpanggul dipundaknya yang cukup tegap, ia adalah seorang jurnalis disebuah harian terkemuka dikota ini. "Ada apa sobat?", tanyaku sembari mendekatinya yang duduk bersandar ditembok. "Masa sih setiap harinya tulisanku dicekal, hanya karena aku menyoroti kebijakan dari pemerintah?", jawabnya dengan muka yang ketus. "Ternyata ia itu masalahnya", tanyaku kembali. "Siapa yang melakukan itu?, apa redaktur kamu?" tanyaku dengan cepat. Ia kemudian menoleh padaku dan berkata "siapa lagi...", ucapnya cuek. Inilah kejadian yang sering terjadi dikalangan jurnalis yang bertugas di lapangan, walau sang wartawan ini ingin menjadi seorang wartawan yang idealis, namun tak jarang termentahkan oleh sebuah kepentingan ditingkat elite. "yah..., begitulah nasib kita yang hanya sebagai bawahan sobat", ucapku dengan maksud untuk menghibur hatinya.
Orang-orang seperti Bagas tidaklah sendiri, sangatlah banyak bagas-bagas lain yang
merasakan hal serupa. Disatu sisi mereka di tuntut untuk profesional, namun disisi lain mereka tak berdaya berbuat apa-apa karena kebijakan atasan, yah sekali lagi ini adalah polemik yang tidak akan pernah usai selama dunia ini masih terus berputar. "Sobat orang kecil seperti kita hanya mempunyai cita-cita, dan harus terus bercita-cita. Sebab tanpa itu kita tak mungkin dapat bertahan dengan keyakinan lurus kita", ucapku memberinya motivasi. "thanks sobat...", jawabnya sambil menatap keatas.
Kutinggalkan Bagas dengan persoalannya, aku kemudian menemui seorang teman yang sedari tadi asyik memperhatikan sebuah kota elektronik yang memancarkan gambar Visual dan Suara. Ia asyik duduk di bangku kayu disebuah kantin kecil yang masih berada diareal kantor tersebut, didepannya terlihat segelas kopi susu yang sisa setengah dan disampingnya terletak sebungkus rokok yang berada dibibir meja kayu yang terbungkus plastik berwarna abu-abu. Pria itu bernama Rio, ia salah seorang jurnalis juga, namun ia bekerja pada salah satu media Elektronik nasional dinegri ini. " apa kabar bung, ada berita apa hari ini?", ucapku menegurnya yang lagi asyik menonton televisi. "yah..., biasa... demo lagi", jawabnya cuek. "begitulah jika banyak orang-orang tak puas dengan setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh sang penguasa", ucapku tak kalah cueknya. Rio dikalangan teman-teman dikenal cuek, tak terlalu mau ambil pusing dengan keadaan sekitarnya. Namun menurutku tidak demikian halnya, saya malah berpendapat kalau rio sudah bosan dengan segala macam bentuk perlawanan yang ia lakukan untuk mengkritisi berbagai kebijakan, baik itu kepada pemerintah maupun kepada institusinya sendiri. Ia sudah kenyang, makanya sekarang ia terkesan cuek, berbeda dengan Bagas yang masih berapi-api. Usia Bagas dan Rio memang cukup jauh, jika bagas usianya baru
23 tahun, Rio sudah berusia 34 tahun. Tentu dari segi kematangan usia Rio jauh lebih matang dibanding Bagas, mungkin inilah yang telah dirsakan Rio sehingga ia tak mau berkoar-koar lagi. Sebetulnya hal yang cukup memprihatinkan juga, jika semua jurnalis yang katanya adalah pilar keempat dalam proses pengawalan demokrasi dalam pembangunan bangsa ini, berbuat seperti itu. Namun sekali lagi Rio tentu mempunyai segudang alasan kenapa ia berbuat seperti itu, kita tak boleh menghakimi apalagi menuduh dia tidak idealis lagi.
Lama kuperhatikan rio yang masih saja memperhatikan televisi dengan serius, ia terlihat sama sekali tidak terusik dengan kehadiranku didekatnya. Walau sesekali kupancing dengan satu topik pembicaraan, namun ia hanya menjawab dengan cepat dan singkat. "apakah Rio memang betul-betul cuek yah orangnya?" tanyaku dalam hati, tiba-tiba mataku tertuju pada seorang pria yang asyik memainkan sebuah telepon genggam ditangannya. Aku kemudian beranjak dari tempatku duduk di kantin itu setelah pamit dengan rio menghampiri lelaki tadi, dari penampilan dan caranya bergaya ia termasuk orang yang cukup menjaga wibawa. "Assalamu alaikum..." ucapku menyapa, "waalaiku salam" pria tadi menjawab. "apa kabar kota kita hari ini?", mencoba bertanya padanya. "aman dan terkendalai brho..." jawabnya masih memainkan telepon genggamnya yang terbilang cukup elite, istilah yang biasa digunakan untuk barang yang berharga diatas rata-rata. Pria ini juga adalah seorang jurnalis, namun ia sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia kewartawanan, berbeda dengan Bagas dan Rio. Ia terlihat tak ada masalah seperti yang dialami oleh rio apalagi yang dialami oleh bagas, tentu saja sebab ia adalah salah seorang penentu kebijakan dalam institusinya. Sudah menjadi rahasia umum dikalangan jurnalis dikota ini kalau Robi begitu ia biasa dipanggil, sangat dekat dengan kekuasaan. "Tapi betulkah itu?" tanyaku dalam hati, "kira-kira agenda pemerintah dalam tiga hari kedepan ini apa saja sobat?"tanyaku membuka perbincangan. "banyak juga sih" jawabnya, kemudian ia menjelaskan satu-persatu mulai dari hari ini, bahkan sampai sepekan kedepan, "hebat juga orang ini" ucapku dalam hati. Dia begitu hafal semua agenda dari pemerintah kota ini, "padahal sepengetahuan saya dia bukanlah wartwan yang posting di pemerintah Kota tapi kok dia hafal betul yah..?" tanyaku dalam hati. "Betulkah Robi segitu dekatnya dengan
kekuasaan, sehingga kebijakan-kebijakan yang ia keluarkan itu selalu sesuai keinginan dari sang penguasa?" tanyaku dalam hati dengan nada penasaran, sebab menurutku dia dulu pastilah mengerti dan paham bagaimana fungsi dari pers. Aku kemudian melanjutkan perbicangan dengan robi "waduh... kamu hebat brho, sudah seperti staf ahli pemkot saja" kusampaikan dengan tawa candaan dariku, yah dengan maksud tidak langsung menyinggung perasaannya, walaupun itu adlah hal yang kuinginkan. "ah...kamu bisa aja, jangan ngeledek gitu dong" ucapanya sambil tertawa kecil. Lama kami ngobrol sampai aku dikagetkan dengan suara lembut menyapaku "hai kak, apa kabar?" suara itu berasal dari belakangku dan aku sangat hafal pemilik suara itu. Dia adalah Ita seorang wartawati disalah satu media cetak dikota ini, wajahnya manis, perawakannya juga bagus dan ia terkenal begitu gamblang dalam menceritakan sesuatu, yah dia seusia bagas. "hei..., dinda manisku dari mana?" jawabku cepat. "biasa kak dari liputan...
"tawanya begitu sumringah padaku, "ada liputan apa dik?"tanyaku penasaran, "itu kak,
liputan seorang penderita penyakit TBC, yang askeskinnya di tolak di rumah sakit" jawabnya serius dengan raut muka yang agak ketus. "lho kok bisa, askeskinnya ditolak?"ucapku ingin mencari tahu, "katanya sih, kartunya sudah tidak berlaku lagi" lanjutnya "dan pada saat ia pertanyakan kepada RT setempat, dia bilang kalau di suruh menunggu sampai hari senin, soalnya kantor tutup hari sabtu" jawab gadis muda yang akrab di panggil Ita ini. "yah itulah repotnya kita disisni sebab semua serba birokrasi banget" jawabku dengan maksud memberi pengertian pada ita, maklumlah anak ini masih terlalu muda, semangatnya masih sangatlah berkobar-kobar. "saya akan buat berita ini menggigit kak, biar mereka tahu kalau menindas orang kecil itu tidak bagus"ucapnya dengan semangat yang begitu membara terpancar diwajahnya, "tapi tetap berimbangkan?" ucapku mengingatkan, "so pastilah kak, saya buat berita dulu kak" ucap ita sambil berlalu, "oke..., good luck yah" jawabku sambil mengangkat jempol padanya. Tiba-tiba robi yang sedari tadi diam disampingku nyeletuk "begitulah saya dulu, waktu masih baru-barunya jadi wartawan" katanya pasti. Sesaat sayua terdiam, mencoba menganalisa kata-kata itu dalam hati aku bertanya "maksudnya..." tapi tak sampai aku
keluarkan, aku hanya mengambil kesimpulan sendiri, jika robi yang dulu bukan lagi robi yang sekarang, entah beban apa yang ia rasakan saat ini tapi aku yakin itu sangatlah berat.
Begitulah mungkin sekelumit cerita tentang dunia jurnalis yang mungkin menurut orang
sangat enak, dekat dengan pejabat, akses kemana saja mudah dan sebagainya yang indah-indah. Namun wartawan juga manusia biasa, punya kelemahan, punya keterbatasan dan juga punya segudang masalah. Dia bisa menjadi malaikat juga bisa menjadi iblis yang sangat kejam, namun sekali lagi itu tergantung dari pribadi masing-masing wartawan itu. Wassalam...(dj)

NB: Tulisan ini hanya fiktif belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama, alamat dan tempat. Sesungguhnya itu bukanlah kesengajaan dari penulis.

Tidak ada komentar: